CERPEN : Paradisa
Paradisa
Nisa Anggraeni
“Ya! Satu.. Dua.. Cheers!”
Ragil menurunkan kamera dan melihat hasil
jepretannya. “Oke, selesai.”
Lima gadis remaja yang sejak tadi sibuk
bergaya, menepi untuk mengambil peralatannya di ruang ganti. Padahal mereka
sama sekali tidak berganti pakaian. Aku yakin, seragam putih abu yang masih
mereka kenakan pasti sudah tidak jelas aromanya. Bahkan ketika kutawari mereka
pakaian yang layak untuk pemotretan, mereka menolaknya.
Tadinya kukira mereka akan difoto untuk
kebutuhan kartu identitas atau semacamnya. Tapi dugaanku meleset ketika melihat
mereka heboh dengan pose konyol khas anak sekolahan. Ah, rupanya mereka berfoto
hanya untuk kenang-kenangan saja. Berikutnya aku menebak, foto-foto itu pasti akan
mereka pamerkan di jejaring sosial supaya dunia tahu bahwa ada lima gadis lugu
yang mempunyai ikatan bernama sahabat.
Sahabat?
Kata yang hanya ada di kamus orang-orang
menyedihkan. Orang yang takut sendirian, yang butuh pelarian, yang egois, yang
pura-pura peduli, dan siapapun yang... lemah. Tunggu, aku sama sekali tidak
mempunyai permasalahan dengan kata itu, juga dengan siapapun.
Aku hanya tidak punya definisi yang
tepat.
Sahabat tidaklah istimewa dalam hidupku. Aku
tidak peduli saat orang-orang di sekililingku berbicara ini-itu tentang sebutan
seorang kawan. Bagiku sahabat hanyalah omong kosong. Tak ada siapapun yang pantas
mendapat sebutan itu. Siapapun yang mengaku dirinya sebagai sahabat, lambat
laun pasti akan pergi juga. Tak akan ada yang bertahan.
Ini hanya soal prinsip. Aku cukup
menyebut seorang kawan dengan sebutan teman. Cukup. Tidak kurang, tidak lebih.
Mungkin ini terdengar frontal, tapi aku merasa ‘sahabat’ hanya akan menjadi
sebuah beban. Seperti hubungan timbal balik yang menjadi suatu keharusan.
“Sampai kapan kau akan berdiam diri
seperti itu?” Ragil bersuara. “Kau mau pulang atau menggantikan shift
Wayan?”
Aku hampir lupa kenapa aku berada di
ruangan ini. Kuambil tas yang tersimpan di sudut ruangan dan melangkah gegas
mengikuti Ragil. Kami menuruni tangga yang ada di sebelah kanan ruang studio
menuju lobi. Di sana ada Rengganis yang tengah duduk di balik meja administrasi,
sibuk mencatat sesuatu di komputer.
“Aku duluan, Rengganis,” kataku saat
berjalan melewatinya.
“Ya, hati-hati.” Rengganis sedikit
mendongak. “Maksudku dari lelaki menyebalkan seperti dia.”
Ragil tak menggubrisnya, bahkan tak
mengatakan apapun sampai kami keluar dari pintu Montage, studio foto tempat
kami bekerja. Aku melambaikan tangan pada Rengganis dengan maksud omonganmu-tak-akan-didengar-olehnya.
Ragil memang menyebalkan, seluruh dunia tahu itu. Tidak akan ada yang sanggup
berhadapan lama dengan kesinisan Ragil, kecuali orang yang keras kepala.
Aku memasang syal untuk melawan udara
dingin. Ragil terlihat menyalakan sebatang rokok.
“Kau langsung pulang?” tanyaku.
Ragil mengembuskan asap. “Bukannya kau
minta kutemani makan malam?”
“Baguslah kalau kau ingat. Aku kesal
menunggumu memotret bocah-bocah tadi. Heran, sudah malam begini, mereka masih
saja berkeliaran.”
Ragil tak menanggapi dan berjalan
melintasi zebra cross. Aku mengekor di belakangnya. Langkahnya yang
cepat sulit untuk kusejajari. Sepanjang jalan kami hanya sibuk membisu.
Udara dingin menembus pori-pori. Aku
merapatkan mantel dan kedua tangan kulipat di dada. Ragil menghentikan
langkahnya untuk menoleh dan menungguku. Tangannya ia sampirkan ke pundakku.
Jika memang sebutan sahabat ada bagiku, maka Ragil adalah orang yang berhak
menyandangnya. Beruntung, ia bukan orang rewel soal sebutan. Aku dan Ragil
memang begini adanya.
Kami berteman sejak kuliah lima tahun
yang lalu dan satu kelas di jurusan fotografi. Ia sering bolos saat kuliah dan
lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengambil gambar apa saja di luar
kampus. Kami lebih sering bertemu di studio editing ketimbang di kelas. Dan
kami akan berlama-lama di sana menyunting berbagai gambar diselingi obrolan
sarkastis, sampai mengucapkan ‘Sampai berjumpa besok.’
“Omong-omong, soft file foto tadi
tidak kau salin ke komputer?” kutanya.
“Biar aku saja yang mengeditnya di rumah,”
jawabnya. “Kau tahu sendiri, kan, aku paling tidak suka menyerahkan pekerjaanku
pada orang lain. Hasilnya tak akan sebaik buatanku.”
Ya, aku tahu. Ragil memang hanya percaya
pada kemampuannya sendiri dan pada orang yang ia anggap lebih baik darinya.
Sayangnya, di Montage ia merasa tak ada yang cukup untuk menandinginya. Percayalah,
selain sinis, ia memang pongah. Walaupun soal kemampuannya tadi memang benar
adanya.
“Lagi pula bocah-bocah tadi
cantik-cantik,” imbuhnya sambil tersenyum kucing.
Dasar lelaki.
***
Kami memasuki sebuah restoran bergaya
Italia dan duduk di satu set meja-kursi di dekat pintu. Suasana di sini tidak
begitu ramai. Hanya ada dua meja selain kami yang ditempati pengunjung. Di
dekat jendela, sepasang suami istri dan dua anaknya sedang menikmati makanan
penutup sambil bergurau. Dan di sudut restoran, dua orang lelaki berdasi sedang
mengobrol santai sambil merokok.
Saat pesanan kami tiba, aku membuka
obrolan.
“Belakangan ini aku sering bermimpi
buruk.”
Ragil diam saja sambil menikmati makanannya.
Tapi aku tahu dia mendengarkan.
“Aku bermimpi tentang keluargaku.”
Ragil berhenti sejenak untuk menatapku. Sejurus
kemudian ia melanjutkan makannya. Keluarga adalah topik yang jarang sekali kami
bahas. Tidak heran jika barusan ia tertegun sesaat.
“Kau tahu, kami selalu baik-baik saja.
Nyaris tak pernah ada masalah yang berarti menimpa hidup kami,” ceritaku. “Dalam
mimpi, kami sedang sibuk dengan urusan masing-masing di rumah. Tiba-tiba suara
helikopter terdengar bising dan sekelompok tentara bersenjata menyerbu rumah
kami.”
Aku terdiam sebentar.
“Mereka... telanjang. Para tentara itu. Aneh
sekali, Ragil. Dan kami ketakutan. Aku menyembunyikan Dareen di dalam lemari.
Demi Neptunus, aku tidak tahan melihat wajahnya yang nyaris menangis.” Aku
menyimpan garpu, malas melanjutkan makan. “Dan kami pergi, meninggalkan Dareen
di sana. Sungguh, ini mimpi terburuk yang pernah kualami.”
Ragil selesai dengan makanannya. Ia
mengambil tisu dan mengelap sisa makanan di bibirnya dengan asal.
“Itu hanya mimpi, Paradisa.”
“Dua kali, Ragil,” sergahku. “Berikutnya
mereka datang saat aku sedang rapat bersama teman-teman kuliahku dulu. Kami
bersembunyi dan seolah-olah sedang bermain petak umpet dengan mereka. Asal kau
tahu, itu sungguh tidak menyenangkan.”
“Tentu saja. Tak ada mimpi yang lebih
menyenangkan selain bermimpi tentangku, bukan?” Ragil mencoba bergurau, tetapi
gagal.
“Lucu sekali. Kau tak akan mengatakannya
jika mimpi tadi terjadi padamu.” Aku mendengus kesal.
Ragil terkekeh. “Paradisa, mimpi hanyalah
bunga tidur. Lagi pula mimpimu itu sangat tidak masuk akal. Tak ada yang perlu
kau risaukan.”
Aku bersandar lemas pada kursi dengan
tangan terlipat.
“Nanti juga mimpi itu akan kau lupakan.
Aku berani bertaruh,” ujarnya yakin.
Bayangan wajah Dareen begitu membekas
dalam ingatan. Adikku yang masih berusia satu tahun, tangis yang hampir pecah,
lemari yang pengap, derap langkah kaki para tentara, dan bayangan kehilangan.
Mimpi yang mengimpit dada saat aku
terbangun.
***
“Suntinganmu benar-benar buruk.”
Ragil berkata terus terang saat melihat
foto yang terpampang di layar. Ia menyimpan segelas jus jeruk di atas meja
kerjaku. Aku menghela napas dan menutup jendela kerja di komputer. Lalu
menyambar minuman pemberiannya seraya bersandar malas pada sandaran kursi.
“Aku sedang bermasalah dengan pola tidur
dan tidak butuh omelanmu,” ujarku kesal.
Ragil mengitari meja dan berdiri di
sampingku. Ia membuka kembali jendela photoshop yang sejak empat jam
lalu aku otak-atik.
“Perhatikan. Ini foto segerombolan
mahasiswa tolol, tidak cocok kau pasangkan dengan latar bergambar klasik.”
Tolong, jangan seenaknya menamai mereka.
Aku beranjak keluar kubikel menuju sofa
cokelat di ujung ruangan. Kudengar gerutuan Ragil yang tidak pelan, tetapi aku
tidak peduli. Ragil memang paling tidak suka diabaikan, tapi kali ini aku
benar-benar tidak bisa diajak berdiskusi, apalagi mengenai foto mahasiswa yang
dikatainya tolol tadi.
Sepuluh menit lagi jam kerjaku habis. Aku
tidak berniat untuk lembur, tetapi malas untuk pulang. Jadi kuenyakkan tubuhku
ke sofa dan menelungkup di sana.
“Masih bermimpi buruk?” tanya Ragil.
Suaranya terdengar dari arah kubikel. Mungkin ia melanjutkan pekerjaanku
menyunting foto tadi.
“Lebih dari buruk,” sahutku. “Aku
terbangun dengan ketakutan dan napas tersengal. Dan itu melelahkan sekali.”
“Kau hanya kelelahan, jadi bermimpi
buruk. Bukan mimpi buruk itu yang membuatmu kelelahan.”
Aku malas berdebat. Dia tidak akan
mengerti.
“Memangnya kali ini apa?” tanyanya tanpa
antusias.
“Kau serius ingin tahu atau hanya sekadar
bertanya?”
“Sekadar bertanya. Tapi aku peduli
padamu.”
“Terima kasih. Tapi aku tak akan
bercerita.”
Aku menyambar tas dan beranjak dari sana.
“Hei,” panggilnya. “Mahasiswa ini adikmu,
ya?”
***
Aku adalah sulung dari tiga bersaudara.
Kedua adikku laki-laki. Damar, adikku yang pertama sudah menjadi mahasiswa. Dan
Dareen, seperti yang kubilang, ia masih satu tahun. Kami hidup dengan sangat
baik. Aku bahkan sedang membayangkan, hal buruk apa yang pernah terjadi pada
kami selain masa krisis moneter dahulu. Sungguh, rasanya tak pernah ada masalah
besar yang menimpa kami.
Keluargaku nyaris sempurna. Dan itu
membuatku ketakutan.
Bagaimana jika suatu hari –atau bahkan
besok, aku kehilangan mereka? Bagaimana jika tiba-tiba Ayah mengalami
kecelakaan dan nyawanya tak tertolong? Bagaimana jika rumah kami terbakar dan
tak ada satupun yang selamat? Bagaimana jika tentara-tentara itu datang dan
menyerbu rumah kami?
Ini gila!
Pikiranku benar-benar kacau. Mimpi buruk
sialan. Apa yang harus kulakukan sekarang?
Menghubungi mereka dan bertanya ‘Apa ada
tentara yang datang ke rumah?’ atau lebih baik aku pulang saja untuk memastikan
dengan alasan pura-pura sakit? Konyol. Mengapa mimpi seperti itu saja bisa
menghantuiku selama berhari-hari?
“Ragil, aku butuh teman,” desisku di
telepon.
Saat malam baru saja membungkus sore,
Ragil tiba di teras indekos membawa sesuatu. Tanpa sungkan aku membuka
bungkusan yang ia bawa dan aroma sedap langsung tercium hidung. Ragil paling
tahu makanan apa yang bisa menaikkan gairahku.
“Aku tidak percaya kau butuh penghibur,” dengusnya.
“Kau lebih membutuhkanku sebagai kurir makanan.”
“Kau harus tahu, Ragil, aku sangat
kelaparan.”
Aku menyantap makanan pemberiannya dengan
sangat lahap. Belakangan ini, nafsu makanku berkurang gara-gara memikirkan
mimpi buruk itu. Aneh memang. Betapa aku adalah orang yang paling tidak peduli
pada apapun yang tak penting, apalagi mimpi, bunga tidur seperti dalam
dongeng-dongeng. Tapi sialnya, mereka berani sekali mengusikku. Membuatku
terganggu dan tak acuh pada waktu.
Ragil mengembuskan asap dan menyelipkan
rokok di antara jemarinya.
“Sudah tiga hari kau tidak masuk. Asal
tahu saja ya, pekerjaanku bertambah gara-gara kau,” keluhnya.
“Aku masih punya jatah berlibur. David
tahu itu,” balasku tak acuh.
“Menurutmu anak kacangan itu bisa
membantu pekerjaan kita selesai? Bisa apa dia selain mondar-mandir seperti
mandor? Harusnya kukatakan pada orang tuanya untuk menyekolahkan ia di tempat
yang layak. Bukan di studio.”
Sejak dulu Ragil memang tidak suka pada
David, anak semata wayang keluarga Pak Wishnu, pemilik Montage. Anak itu drop
out dari kuliah Kedokterannya dan malah diselundupkan oleh Pak Wishnu untuk
memegang kendali Montage.
“Omong-omong, bagaimana keluargamu?”
tanya Ragil.
Aku mendesah pelan. Aku tidak tahu.
Saat aku menyunting foto Damar,
sebenarnya itu bukan foto yang kuambil. Damar dan teman-temannya memang datang
ke Montage, tetapi hari itu aku sedang menghadiri pernikahan seorang klien, dan
Wayanlah yang memotret mereka.
Aku tidak ingat kapan aku bertemu –bahkan
bertukar kabar dengan keluargaku. Rasanya sudah lama sekali.
“Hubungi saja mereka. Barangkali kau bisa
tenang.”
Ragil tahu aku bukanlah orang yang manis.
Menanyakan kabar orang terdekat bukanlah hal yang biasa kulakukan. Asal tahu
saja, aku jarang sekali menghubungi keluargaku tanpa kepentingan. Mereka juga
paham soal sikapku ini.
Jadi saat Ragil mengajukan ide untuk
menghubungi keluargaku, aku menggelengkan kepala. Mungkin kedengarannya aneh,
tapi aku ingin mengatakan, ‘Kami bukan keluarga yang romantis.’
“Paling tidak, kau masih punya keluarga,
ingat? Tidak sepertiku,” katanya lagi.
“Aneh sekali jika tiba-tiba aku
menghubungi mereka dengan alasan mimpi sialan itu,” elakku masih berusaha
menahan diri.
“Kau ingat apa mimpi terakhirmu?”
Aku mengangguk. “Kampus kita diserang.
Entah oleh siapa. Tapi mereka bersenjata.”
“Apa yang terjadi setelah itu?”
“Aku berlari menjauh. Sialnya, aku malah
bersembunyi di lantai lima dan tertangkap basah. Mereka... nyaris menembakku.”
Aku membayangkan kembali mimpi mengerikan itu.
Ragil mematikan rokoknya. Ia mengembuskan
asap terakhir dari bibir merahnya –yang seharusnya bibir itu menghitam. Yang
berikutnya terjadi adalah ia menatapku dengan lembut, mengisyaratkan betapa ia
peduli pada keadaanku yang menyedihkan.
“Paradisa, kau ketakutan.”
Ketakutan? Yang benar saja. Itu adalah
omong kosong kedua setelah sahabat. Harusnya dia paham mengapa aku tak butuh
sahabat dalam hidupku. Tentu saja karena tak ada yang kutakutkan di dunia ini.
Sudah kubilang, sahabat hanya akan menjadi sebuah beban. Lalu secara perlahan
mereka akan pergi meninggalkan kita. Dan pada akhirnya kita akan dilupakan.
“Mungkin mimpi itu peringatan untuk kau.
Bahwa walau bagaimanapun, setiap orang akan mengalami kehilangan yang
menyakitkan. Dan kau takut membayangkan kehilangan itu. Kau takut ditinggalkan.”
Bacaan apa yang membuat ia mengatakan
kalimat seperti itu? Menggelikan sekali.
“Sesekali, kau boleh terlihat lemah dan
membutuhkan teman –aku yakin kau tak mau aku menyebut kata sahabat yang
membuatmu muak,” lanjut Ragil.
“Ragil, dengar. Kau mulai terlihat
seperti penulis roman yang–”
“Kau hanya tidak mau mengakuinya. Selama
ini hidupmu terlalu baik-baik saja dan kau merasa takut jika suatu hari kau
harus melewati masa yang menyakitkan. Karena kau tidak terbiasa pada perasaan
semacam itu. Jadi kau mulai bersembunyi di balik sikap tak pedulimu itu.”
Ragil, kau– sial, apa kepalaku tembus
pandang? Dari mana ia punya kemampuan membaca kegelisahanku? Aku nyaris tak
percaya pada apa yang dikatakannya. Dan lebih tak percaya lagi bahwa yang
dikatakannya barusan adalah kebenaran yang sebenar-benarnya menimpaku.
Benar. Aku takut ditinggalkan. Aku takut
kehilangan. Aku akan dilupakan. Jadi aku bersembunyi dan menolak mentah-mentah
dongeng tentang sahabat. Sekarang aku kehilangan kata-kata untuk membalas
Ragil. Semua bantahan kembali tertelan. Dan yang keluar justru adalah isak tangis.
Aku benar-benar terlihat... menyedihkan.
Aku tidak mempunyai sahabat.
Aku sendirian.
Sepasang tangannya menarik lenganku. Ia
merengkuh kepalaku di dadanya.
“Jangan takut. Tuhan adalah
sebaik-baiknya sahabat. Karena Tuhan tak pernah melupakan kita.”
***
0 Response to "CERPEN : Paradisa"
Post a Comment