CERPEN : Johari
Johari
Nisa Anggraeni
Pagi ini, enam orang anak berusia kira-kira sepuluh tahun, berkerumun
di satu set meja kursi. Seragam mereka terlihat sangat rapi. Keceriaan penuh
semangat terpancar jelas dari wajah mereka. Aku melihat jam yang menunjukkan
pukul 06.35. Mereka masih punya waktu setengah jam untuk menikmati sarapan.
Aku menghampiri mereka, mengantarkan tiga mangkuk spargelsuppe
dengan enam buah sendok. Mereka langsung melahap menu sarapan itu bersama,
sementara aku duduk menemani mereka seperti pagi-pagi sebelumnya.
“I have a story to tell you,” kataku mengawali percakapan.
Seketika mereka menatapku dengan penasaran. Mereka selalu menanti
kisah yang akan kuceritakan, mendengarkannya dengan baik, juga memotongnya
dengan pertanyaan pendek di sela-sela cerita. Restoran selalu menjadi riuh di
pagi hari setiap mereka datang.
“What is story about?” tanya Kim, anak bermata sipit
keturunan Jepang.
“Is this story about sailing on the ocean again?” Sean,
satu-satunya anak perempuan, bertanya.
“No,” kujawab. “It’s about someone. He’s my best friend.
He’s named Johari.”
***
Suatu dulu, aku berteman baik dengan seseorang bernama Johari. Ia anak yang sangat cerdas dan berkemauan keras. Di sekolah, ia selalu menjadi peringkat nomor satu dan tak terkalahkan. Dia bilang, cita-citanya sangat sederhana: ingin menjadi lulusan dari Karlsruher Institut für Technologie, Jerman. Aku sebagai temannya yang tidak pintar-pintar amat, hanya melongo mendengarnya. Jangankan kuliah di sana, melafalkan namanya saja aku sudah kesulitan.
Menurutku, tidak mustahil baginya untuk menembus kampus itu. Seperti
kubilang tadi, ia sangat cerdas. Alasan mengapa ia ingin kuliah di sana, kurasa
sangat jelas. Dulu saat kami kelas sebelas, ia berkesempatan untuk mengikuti
pertukaran pelajar ke Jerman. Ia tinggal selama kurang lebih tiga bulan. Ketika
pulang ia mulai menyebut-nyebut tentang Karlsruher Institut für Technologie.
Entah gadis pirang mana yang menarik perhatiannya, yang jelas, Jerman sudah
berhasil membuat Johari terkesan.
Dan lagi, Johari tak perlu repot-repot mengajukan beasiswa ke sana
ke mari. Orang tuanya sangat-sangat kaya. Sekalipun Johari minta untuk menetap
di Jerman selamanya, orang tuanya tidak akan jatuh miskin. Jadi Johari tidak
perlu memikirkan masalah apapun tentang biaya. Bagiku, Johari adalah potret
anak tunggal paling beruntung.
Sebelum kelulusan sekolah, Johari sudah mengurus berkas-berkas
pendaftaran ke kampus itu. Ia bilang, ia ingin masuk di fakultas Arsitektur.
Aku mengangguk saja, setuju pada apapun pilihannya. Sementara aku masih waswas
apakah aku akan lulus atau tidak. Johari tersenyum dan sangat bersemangat. Ia
pasti belum membayangkan jika sesampainya di sana, ia akan kelaparan gara-gara
tidak bisa berbahasa Jerman.
“Entschuldigen. Wissen Sie wo das nächste restaurant?1”
tanya Johari seolah membaca pikiranku.
Ah, aku lupa. Johari kan anggota Pasch, klub bahasa Jerman di
sekolah, sudah tentu ia tidak akan kelaparan di sana. Lagi-lagi aku merasa
tolol.
Akan tetapi, tak lama setelah Johari mengirimkan berkas
pendaftaran, sebuah kabar duka datang. Ayahnya menjadi korban penipuan dan
meninggalkan banyak utang. Berhari-hari Ayahnya tak pulang, keluyuran entah ke
mana. Tak hanya itu, ibunya juga mengalami depresi. Johari mulai mengurung diri
dan mengubur mimpi.
Akhirnya Ayahnya pulang, tapi dalam keadaan tewas karena
kecelakaan. Akhirnya ibunya menjadi gila, karena tak kuat menanggung derita.
Akhirnya Johari sebatang kara. Terus terang aku tidak sampai hati melihatnya. Johari
sendirian dan tak punya tempat tinggal. Keluarganya yang lain entah di mana.
Sanak saudaranya tak ada yang mau memungutnya.
Aku yang baru sebulan ini bekerja di sebuah restoran, mengajaknya
untuk bergabung. Menjadi pelayan atau juru masak mungkin tidak pernah terbayang
di benaknya, tetapi paling tidak, ia akan mempunyai kesibukan. Aku tidak mau ia
hanya duduk diam dan meratapi diri. Johari menggeleng dan terlihat putus asa.
“Ayolah, Jo. Berliner Brotfabrik masih membutuhkan karyawan. Kau
tahu, ini kesempatan. Barangkali keberuntunganmu ada di sana,” bujukku.
“Dio, kau mencemoohku. Aku tidak bisa kuliah di Jerman bukan
berarti aku harus menjadi tukang cuci piring di restoran Jerman itu.”
“Ini bukan tentang Jerman. Ini tentang kelanjutan hidupmu.
Memangnya setelah semua yang terjadi, kau mau bagaimana? Menjadi gelandangan di
jalanan?” ujarku. “Maaf, Jo. Tapi kau sudah tidak punya apa-apa.”
Johari menatapku. Kulihat sorot matanya yang tampak sayu dan...
tanpa harapan.
“Kau masih punya harapan, Jo. Impianmu harus kau perjuangkan. Jika
aku menjadi kau, aku tidak akan menyia-nyiakan kecerdasan seperti yang kau
miliki, dan akan menggunakan kesempatan apapun untuk meraih mimpiku. Sekecil
apapun kesempatan itu.”
Johari terdiam sejenak, seolah berpikir keras bagaimana temannya
yang bodoh ini akhirnya bisa berbicara dengan benar.
“Apa kau sudah bisa berbahasa Jerman? Kau harus ikut denganku
kuliah di sana,” ujarnya dengan senyum mengembang.
Aku tahu impian itu masih ada, Jo.
***
Kami memutuskan untuk tinggal di sebuah indekos kecil di dekat Berliner Brotfabrik. Johari mengubah interior kamar sempit kami menjadi sangat berbeda. Dindingnya ia biarkan tetap putih. Biar terlihat luas, katanya. Ia menggantungkan peta dunia dan melingkari Jerman dengan spidol merah. Di samping peta, ia menempelkan poster berlogo KIT, kampus idamannya. Di dekat jendela, ia memajang sebuah maket berbentuk bangunan gedung dan pesawat terbang. Tidak salah jika ia ingin menjadi arsitek.
Johari masih bersemangat dan yakin bahwa ia bisa kuliah di sana.
Sebagai teman, aku selalu mendukungnya. Ia selalu giat bekerja supaya uangnya segera
terkumpul banyak. Di restoran, saat senggang ia akan meminjam komputer dan
mencari informasi beasiswa. Terkadang aku membuntutinya. Barangkali aku
diperlukan, kataku. Kemudian ia langsung menjitak pelan kepalaku.
“Kau menemukannya?” kutanya.
“Aku menemukan informasi beasiswa dari beberapa situs. Hanya
menampilkan tautan saja. Tapi akan kucoba,” jawabnya tanpa mengalihkan tatapan
dari layar komputer.
Aku menepuk bahunya pelan. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk
Johari. Aku hanya bisa diam-diam berdoa untuknya.
***
“Hari ini Pak Nino membawa temannya dari Jerman,” beritahuku pada Johari.
Johari yang baru tiba di restoran dan mengenakan apron, hanya
menggeleng tidak percaya.
“Aku serius, Jo. Tanya saja pada Sarita.” Aku menoleh pada gadis di
belakang mesin kasir. “Aku tidak mengada-ada kan, Sarita?”
“Benar, Jo. Pak Nino akan mengajak teman-temannya berkunjung ke
mari. Kau bisa menggunakan bahasa Jermanmu itu hari ini.” Sarita tersenyum.
Hari ini, impian itu terasa dekat bagi Johari. Ia menemukan jalan
untuk mencapai impiannya. Pak Nino, pemilik Berliner Brotfabrik, yang sejak
semula sudah mengetahui keinginan Johari untuk melanjutkan pendidikan di
Jerman, membiarkan Johari berbincang dengan turis yang ia bawa. Pada awalnya,
Johari sedikit canggung dan gagap, lama kelamaan ia seperti orang Indonesia
yang lama menetap di Jerman.
Aku mengacungkan jempol dari kejauhan.
Malamnya, Johari bilang bahwa salah satu teman Pak Nino yang
bernama Heinrich, mengajaknya untuk mengikuti tes masuk di Karlsruher Institut
für Technologie. Katanya Heinrich berteman baik dengan seorang dosen di kampus
itu. Tentu saja Johari menerima tawaran itu tanpa berpikir dua kali.
Aku tahu, tak lama lagi Johari akan pergi. Ia akan menjemput
impiannya itu. Aku tahu ia akan berhasil.
***
“KIT ada di bagian barat daya Jerman, kan?” tanyaku. “Barangkali suatu hari nanti aku akan menyusulmu ke sana.”
Johari tersenyum. Lalu memelukku erat dan mengucapkan terima kasih.
Bagiku, bagaimanapun bentuknya, perpisahan tetaplah menyesakkan, sekalipun aku
harus melepas Johari yang berbahagia. Aku tidak mengucapkan apa-apa selain cepatlah
kembali.
Johari menarik diri. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, lalu menyematkan
sebuah pin merah-putih di dadaku. Ini pasti pin yang ia pakai ke Jerman saat
pertukaran pelajar dulu.
“Aku akan segera kembali ke Indonesia, Dio.”
Aku menghela napas. Johari menepuk bahuku sekali lagi. Ia lalu melangkah
pergi dan melambaikan tangan. Aku memandangnya penuh dukungan.
Dua belas jam setelah mengantar kepergian Johari di bandara, saat
aku baru selesai memberikan servis pada pengunjung terakhir restoran, sebuah
tayangan di televisi menamparku dari kesadaran. Pesawat yang ditumpangi Johari
mengalami kecelakaan. Dadaku seperti
disambar petir kering.
“Kita berdoa semoga Jo selamat,” bisik Sarita dengan mata
berlinang.
Terlambat. Belum sempat aku berdoa, nama Johari sudah ada dalam
daftar korban meninggal. Aku terguncang dan nyaris ambruk.
***
“Uncle, are you okay?”
Aku menatap anak-anak di hadapanku. Wajah mereka yang tampak lugu
dan menggemaskan menyiratkan perasaan haru setelah mendengar kisahku. Aku
mengulas senyum dan mengangguk pelan.
“You look so sad,” imbuh Sean.
“No, Sweety,” kataku. “I just remember of my friend. I’ve
missed him.”
“Johari is so great,” seru Dimas. “I wish go to Germany
too.”
“Yeah. He is very tough to get his dreams. Never give up.”
Kim berkomentar.
“I wanna be like him, Uncle,” ucap Sean.
“Of course. Don’t stop dreaming, Sweety. Like Johari,”
balasku. “Ah, our time is over. It’s seven o’clock. You have to go now.”
Mereka bangkit dan keluar dari Berliner Brotfabrik menuju sekolah
yang terletak tepat di samping restoran. Aku melambaikan tangan membalas salam
mereka yang riang. Bibirku tersenyum tetapi dadaku terasa sesak. Ada rindu yang
lama terpendam.
Gehen und glücklich sein, Johari2.
***
1 Permisi. Apa
Anda tahu letak restoran terdekat?
2 Pergi dan berbahagialah, Johari.
0 Response to "CERPEN : Johari"
Post a Comment