-->

CERPEN : Brother


Brother

Nisa Anggraeni


Papa-Mama menamai kami Suci dan Aji. Tetapi entah kapan tepatnya, mereka mengubahnya menjadi Suci atau Aji. Atau mungkin kami sendiri yang mengubahnya. Yang jelas, aku merasa tidak memiliki adik bernama Aji. Tidak juga memiliki Papa-Mama.

Herannya, aku malah nyaris tertidur dalam taksi yang membawaku dari Heathrow Airport menuju Marylebone. Padahal aku tidak memiliki adik bernama Aji. Jadi untuk apa aku ke sini sementara tidak ada yang peduli termasuk Papa-Mama?

Selama enam tahun lebih aku tidak pernah bertukar kabar dengan Aji. Bagaimana jadinya jika nanti kami bertemu? Mungkin aku harus menyiapkan teks percakapan formal dan memulainya dengan ‘Apa University of Westminster menerimamu sebagai mahasiswa?’

Akan tetapi, sepertinya Black Country tidak membawa keberuntungan bagiku. Ketika aku menyiapkan teks percakapan itu, taksi menyusuri Hyde Park. Mataku terpaku melihat seseorang yang sedang memotret entah apa.

Aji.

Tidak kusangka pertemuan kami akan secepat ini.

“Kau...” Aji tertegun. Ekspresinya berubah.

***

Sedikit-banyak, Aji memang berubah. Sekarang wajahnya bercambang tipis dan tubuhnya tinggi melebihiku. Siapapun yang melihat kami memasuki Hyde Park Mansions, pasti akan mengira kalau kami adalah sepasang kekasih. Padahal kami hanya saudara yang terpaut umur satu tahun.

Sayangnya, sikap Aji tidak juga berubah. Ia tetap sinis seperti dulu. Kami belum berbicara sepatah katapun. Apa aku harus mulai dengan percakapan formal seperti tadi?

“Jadi, ada apa kau ke sini?” tanyanya tanpa basa-basi.

Dia tak memberikan jeda padaku. Jadi aku mengatakan:
“Papa-Mama bercerai.”

Ia tersenyum sinis. “Bukankah jauh sebelum aku ke sini, mereka sudah sering bertengkar? Harusnya kau tidak terkejut dengan perpisahan mereka,” katanya.

Ya, mengingat Papa-Mama yang selalu sibuk sejak kami kecil, perceraian memang bukan hal yang mengejutkan. Akan tetapi, ada perasaan yang berbeda saat aku melewatinya. Walaupun aku sudah bukan anak kecil lagi, menyaksikan perpisahan itu, tanpa Aji, rasanya seperti sendirian melewati lorong gelap yang entah di mana ujungnya.

Tidak akan ada yang mengerti bagaimana rasanya. Hanya Aji yang akan memahaminya. Hanya dia satu-satunya harapanku. Itulah alasan mengapa aku menemuinya.

“Dan, sebenarnya kau bisa meneleponku. Tidak perlu jauh-jauh datang ke London,” lanjutnya ringan.

Ya Tuhan, dia memang kehilangan sopan santun.

“Aku ada keperluan lain di sini, bukan untuk menemuimu,” kilahku.

“Masa? Kalau benar, harusnya kau berada di penginapan sekarang.”

“Aku memang akan pergi sekarang,” kataku seraya bangkit. “Waktuku di sini tidak banyak. Aku tidak akan membuang waktu percuma dengan berdebat tolol denganmu.”

Air mataku nyaris jatuh kalau aku tidak menahannya. Aku bersiap keluar, tanpa tahu akan ke mana. Sebelum kubuka pintu, Aji menarikku dalam dekapannya. Ia membenamkan wajahnya di antara rambutku, seolah mencari aroma yang sejak lama ia nantikan.

“Kalau kau tidak menahanku, aku akan benar-benar pulang ke Indonesia,” isakku.

***

 “Kau boleh melewatkan Big Ben dan London Eye, tapi untuk yang satu ini, aku yakin kau akan menyesal jika melewatkannya,” ujar Aji keesokan harinya.

Terserah apa katanya. Aku akan percaya pada lulusan University of Westminster yang satu ini. Jadi aku mengikutinya saja berjalan menyusuri Marylebone Street menuju –

“Aji, apa kita sedang berada di film detektif itu?”

Welcome in Baker Street.” Aji merentangkan tangannya dan tersenyum lebar.

221B Baker Street, salah satu alamat paling terkenal di dunia. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Rasanya seperti mimpi. Aku menjejakkan kaki di The Sherlock Holmes Museum, kediaman Holmes bersama Dr. John Watson pada tahun 1881-1904. Sulit dipercaya. Aji tahu ini tempat impianku. Aji tahu, karena kami sama-sama menyukai Sherlock Holmes sejak kami kecil. Aji tahu, bahwa dulu kami pernah sepakat tentang Papa yang mirip dengan Robert Downey, pemeran Holmes dalam filmnya.

Hari ini pengunjung museum tidak terlalu ramai. Ada beberapa turis Asia yang langsung disambut hangat oleh Aji. Sementara aku, aku seperti bocah yang menemukan mainan baru saat melihat semua benda di tempat ini: cerutu, biola, buku-buku, maket perahu, perapian, juga plakat bertuliskan ‘Police Notice – The Occupier’ yang menempel di dinding.

Aku menatap Aji yang sedang memotret patung Holmes dan Watson. Tanpa sadar aku tersenyum. Bahagia ternyata sesederhana ini. Melewati waktu bersama dengan seseorang yang selalu dirindukan. Ingin rasanya aku mengulur waktu lebih lama di sini. Aku tidak ingin cepat-cepat pulang, kecuali bersama Aji.

Aji menghampiriku dan menunjukkan gambar dalam kamera.

“Setelah kontrak kerjaku selesai, aku akan kembali ke Indonesia,” ujarnya tiba-tiba, dalam intonasi yang pelan, tetapi pasti.

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Tapi inilah yang kuharapkan. Papa-Mama boleh meninggalkan kami. Tetapi kami masih saling memiliki.

Di kota ini, aku menemukan kembali kepinganku yang hilang: Aji, adikku.

Dalam kepalaku, sebuah lagu di masa lalu kembali mengalun.

Now I can rest my worries and always be sure
That I won't be alone anymore
If I'd only known you were there all the time
All this time

0 Response to "CERPEN : Brother"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel