-->

SERI LIGAR DAN NADJA - 2. Bagaimana Rasanya Berciuman?


Aku masih ingat persis rasanya. Bukan, bukan rasanya berciuman. Tapi bagaimana rasanya melihat Gisa tersenyum aneh dengan gelagat yang tidak biasa. Itu terjadi lima tahun lalu. Saat kami masih mengenakan seragam putih-abu.

Gisa temanku sejak umur dua belas. Aku mengenal segala kelakuan baik dan tingkah tololnya. Juga tahu betul mengapa aku masih bisa berteman dengannya sampai sekarang. Jelas karena aku juga tidak jauh berbeda dengan Gisa.

Saat itu jam istirahat sekolah. Aku menuju kantin, bermaksud membeli seporsi Indomie dan menghabiskan sisa waktu istirahat tanpa membahas pelajaran barang secuil pun. Gisa membuntutiku. Matanya berkedip aneh, dan bibirnya tak berhenti tersenyum.

Dia tidak sadar bahwa aku memperhatikannya. Senyumnya makin tidak karuan dan ingin sekali aku memukul kepalanya dengan sendok.

"Heh, kenapa sih?" tanyaku.

"Hah, apa?"

"Pergi sana ambil cermin. Lihat muka tololmu itu." Aku mulai menyendok makananku, tetapi mataku masih memperhatikan Gisa.

Gisa kembali tersenyum. Tangannya memainkan sedotan dalam gelas. Bahkan sejak tadi dia belum menyentuh makanannya sama sekali. Padahal aku tahu persis porsi makannya.

"Habis ciuman sama Gilang, ya?" tembakku.

Gisa berhenti tersenyum dan melotot padaku. Kemudian seringainya kembali menjadi aneh.

"Benar, kan?" Aku mengkonfirmasi. Gisa mengangguk dan bibirnya tetap tersenyum. "Gimana rasanya?"

Berikutnya, Gisa membeberkan semuanya. Tentang pertemuan mereka, obrolan santai mereka, kemudian saat Gilang mencuri cium dari bibir Gisa ketika mereka hendak berpisah. Sial. Hormon dopamin membuatnya menjadi tampak tolol seperti sekarang.

Saat itu aku tidak begitu peduli. Merasa bodo amat dengan kelakuan temanku yang satu itu. Tidak penasaran sama sekali.

Tapi sialnya, semakin dewasa, lingkunganku jadi makin beragam. Berciuman menjadi hal biasa bagi sebagian orang.

Dan semakin banyak buku yang kubaca, semakin aku melihat gambaran bagaimana rasanya berciuman. Katanya, rasanya seperti ada kupu-kupu dalam perut. Begitu sensasinya.

Apa? Bagaimana? Seperti apa rasanya ada kupu-kupu dalam perut?

"Mikirin apa, sih?" Ligar bertanya tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.

Oh ya, hei. Aku sedang bertemu Ligar. Seperti janjinya kemarin. Besok. Jam 10. Di tempat biasa.

Yang dia maksud "di tempat biasa" adalah tempat yang baru sekali kami kunjungi bulan lalu. Dan ini kali kedua kami bertemu. Ya, kali kedua. Aku dan Ligar baru dua kali bertemu. Dua. Kali. Tidak. Lebih.

Heran? Nanti kuceritakan tentang bagaimana kami berkenalan.

Kami duduk di sudut sebuah bangunan bernuansa kayu. Ukurannya tidak terlalu besar. Hanya ada delapan set meja kursi yang ditata rapi di sini. Wangi pelitur selalu tercium saat aku memasukinya.

Aku memandang Ligar yang sedang serius menatapi layar laptop. Entah apa yang sedang dikerjakannya. Sepertinya dia agak gila kerja.

"Ligar," panggilku.

"Hm."

"Bagaimana rasanya berciuman?"

Dia mengalihkan pandangannya padaku. Kemudian mengambil buku di meja dan memukul kepalaku. Aku memekik. Kemudian merengut sebal padanya. Aku kan cuma bertanya.

"Jaga pikiranmu," katanya. "Jangan harap aku mau menciummu. Bibirmu tidak menggairahkan sama sekali."

Aku tergelak mendengar jawabannya. "Sialan."

"Ini untukmu." Ligar menyerahkan buku yang tadi dia pakai untuk memukulku.

Aku menerimanya. Sebuah novel yang terbit baru-baru ini. Ligar bekerja di sebuah penerbit, menjadi bagian dari tim pengembang sistem online di sana. Katanya, sekarang sedang menjamur bacaan secara online. Entah itu berbasis website maupun aplikasi.

Sudah setahun lebih dia bekerja di Yogyakarta. Sementara aku, belum sampai setengah tahun menetap di sini. Oh ya, aku berkerja sebagai bagian pemasaran digital di Oxy Store, sebuah distro lokal yang memproduksi pakaian dengan ciri khas warna-warninya yang mencolok.

"Nadja," kali ini Ligar menyebut namaku. Pandangan dan tangannya tetap sibuk pada laptop. "Pertanyaanmu tadi. Jangan melakukannya dengan orang lain. Kau tahu maksudku."

Dahiku mengernyit. Apa? Aku tidak boleh bertanya seperti tadi pada orang lain? Atau tidak boleh berciuman dengan orang lain?


—ns



0 Response to "SERI LIGAR DAN NADJA - 2. Bagaimana Rasanya Berciuman?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel